POTRET KOTA JAKARTA YANG IRONIS “Pembelajaran dari Hujan dan Kaum Marjinal” Part Three-End

Santri

Beberapa dari mereka malu ketika ditanyai, tapi toh dijawab juga. Suwandi kelas satu SD, baru saja 3 bulan ia di sana. Entah bagaimana hatinya terpisah dari orang tua, entah berapa banyak air mata yang mungkin ia tumpahkan setiap malam, tapi sore itu, ia tetap ceria dan tersenyum. Namun, ada sesuatu, sesuatu dari cara ia memandang, betapa ia haus kasih. Ia tak hanya butuh teman, ia butuh dekat dengan orang tuanya.

Yogi, entah kelas berapa, tapi ia tak pernah tak tersenyum, apapun yang ditanya. Ia punya hobi main bola. Tapi lapangan yang tak seberapa itu harus ia rela bagikan dengan 60 orang temannya, yang rata-rata punya hobi serupa. Betapa hatinya lapang dan rela, dan sesungguhnya di hati lapang itu lah bola-bola kehidupan harus ia mainkan untuk mencetak goal demi goal di masa depan.

Dan yang paling menarik adalah Wildan, sudah beranjak dewasa, usia SMA, tapi masih sangat polos, masih malu-malu, tidak arogan, sungguh berbeda dengan anak-anak SMA yang saya temukan di mal-mal dengan “handphone qwerty ber-PIN.” Ia punya cita-cita, sederhana, tapi menyayat hati saat saya dengar jawabannya, yaitu jadi Guru. Mengapa? Sebab hanya itu pekerjaan mulia yang bisa ia capai. Apalah dayanya ia untuk jadi dokter? Atau Insinyur? Uang pendidikan yang kian mahal, mampukah ia membayarnya? Jika logika manusia bermain, tak mampulah ia.

Mereka sama-sama tersenyum, mereka sama-sama saling merangkul, dan mereka pun sama-sama punya mata yang kosong. Masih menerawang akan masa depan mereka, masih tak terbayang apa jadinya mereka nanti. Cita-cita. Mereka punya itu, tapi tak mampu mereka gantungkan setinggi bintang. Semua tertabrak oleh realita kehidupan bahwa mereka kaum marginal, bahwa mereka tersisihkan.

………….

Adzan maghrib berkumandang, mengingatkan setiap orang di sana untuk berhenti dari aktifitas. Mereka harus menunaikan ibadah mereka dan banyak-banyak memohon pada Allah. Bukan demi harta, bukan demi pencapaian, tapi demi kasih, sebab hanya Allah yang Maha Pengasih yang mampu memuaskan batin mereka. Agungnya suara adzan mengakhiri kunjungan kami dengan indah sore itu. Setelah mengambil foto-foto ala kadarnya, kami memutuskan untuk segera pulang.

Mobil Martin meninggalkan pelataran Panti Assurur di belakang kami, terus melaju melewati gang-gang sempit dengan rumah-rumah sederhana. Kami terus melesat dan sampai di ujung gang, melewati jalan-jalan besar yang biasa kami lewati. Jalan raya yang basah memantulkan warna merah dan oranye dari lampu kendaraan-kendaraan bermotor. Sungguh kami disuguhi dengan pemandangan metropolitan yang gemerlap, indah dan menawan, padahal jarak panti belum terlalu jauh di belakang. Sungguh, potret Kota Jakarta yang IRONIS.

…..Awan-awan hitam yang merupakan kumpulan uap-uap air terkondensasi, sekalipun mereka telah menjelajah angkasa, mengitari bumi, uap-uap itu harus tetap kembali lagi jatuh ke bumi. Satu persatu titik-titik air itu harus meninggalkan tahtanya di atas sana, bersiap-siap meluncur ribuan kilometer dari atas ke bawah, sesekali meliuk-liuk terbawa angin kencang…..

Malam  itu, Jakarta masih basah. Butiran air masih berlomba-lomba untuk menghujam tanah. Uap air yang sudah naik tinggi ke langit sana, ke dekat matahari, harus melesat turun lagi ke bumi. Begitulah kami diingatkan hari itu: Bahwa seberapa tinggipun kami telah melesat, kami harus tetap “turun” untuk membasahi hati yang kering dengan kasih dan cinta. Seperti air yang terus bersiklus, sesekali naik, tapi harus turun juga, dengan demikianlah bumi ini terjaga keseimbangannya. Dan dengan kasih yang dibagikanlah, maka dunia ini pun mencapai keseimbangannya.

Entah bagaimana dengan Martin, tapi saya pulang dengan hati yang sama sekali berbeda dengan saat saya baru datang. Saya datang dengan motivasi “asal tugas dari dosen bisa selesai”. Namun saya pulang dengan hati “tugas saya sebagai seorang yang dikaruniai berkali-kali lipat kelimpahan, belum selesai. Tidak..tidak akan selesai sampai dua hal ini terjadi: saya pulang ke rumah Bapa, atau tidak ada lagi kata kaum marjinal, kaum dhuafa, dan kaum miskin di muka bumi ini.”

end of story…

2 thoughts on “POTRET KOTA JAKARTA YANG IRONIS “Pembelajaran dari Hujan dan Kaum Marjinal” Part Three-End

  1. bluetakoyaki says:

    nice sharing,,
    mengingatkan kita untuk terus berjuang demi impian2 mereka juga…

  2. freddy says:

    very touching..
    I trust that u will be a rich woman and help them.

    help to be a doctor may be.. not just a teacher.. =)

    Life is irony, thin and fat, cry and joy, love and lust , etc..
    but not only those.

    the really of our irony is while our hearts are dead but in fact this body is still able to move, walk and breathe

    have to make our life happy…

Leave a reply to freddy Cancel reply